Sunday, April 19, 2009

Beruntungnya kaum Cina Malaysia..............



usinkata; sebelum meneruskan pembacaan sila positifkan diri terlebih dahulu...


JANGAN PANGGIL AKU CINA....

Saya dilahirkan dari sebuah keluarga sederhana. Ibu saya adalah seorang Tionghoa yang dibawa oleh ayahnya dari Tiongkok ke Indonesia saat masih berusia 2 tahun. Saat itu nenek tengah hamil besar. Mereka datang ke Indonesia untuk menghindari tentara Jepang yang tengah masuk ke Tiongkok, yang kata nenek gemar membayonet perut orang hamil. Setelah dewasa, ibu dan saudara-saudaranya memutuskan menjadi WNI dan tinggal di Indonesia, meskipun kakek saya kembali lagi ke Tiongkok setelah nenek meninggal.

Ayah saya adalah hasil pernikahan campuran. Ibunya setengah Tionghoa setengah Indonesia, menikah dengan ayahnya yang putra Madura asli. Ayah saya tak pernah mengenyam pendidikan. Sejak kecil beliau sudah bekerja di pelabuhan sebagai kuli angkut dan kadang-kadang membantu petani garam. Beliau sangat mahir menyelam dan percaya atau tidak, beliau lancar membaca dan menulis. Beliau juga yang mengajar saya wudhu, sholat, dan menceritakan kisah tentang nabi-nabi kepada saya.

Ibu sudah menikah dengan seorang Tionghoa kaya pemilik toko kelontong dan mempunyai 5 orang anak, saat bertemu ayah. Tapi karena ibu mengalami KDRT serta tak mau dipoligami, beliau menerima ajakan ayah untuk kawin lari. Saya baru menyadari belakangan mengapa ibu rela meninggalkan hidup berkecukupan untuk menikahi ayah (yang walau tampan tapi tak punya apa-apa), setelah melihat ibu dengan mata menerawang membakar surat-surat cinta yang berisi puisi-puisi dari ayah beberapa hari setelah ayah meninggal. Ternyata ayah saya romantis bo! Rasa-rasanya keahlian saya untuk berpantun seks bersama Aimee, JL, Burpit, Pak Sirpa, dan Eda Rosda, juga menurun dari beliau.

Pernikahan ayah dan ibu menghasilkan 4 orang anak. Kakak-kakak saya rata-rata berkulit sawo matang dan bermata lebar, hanya saya yang berkulit putih dan bermata sipit. Dua kakak saya adalah muslim, hanya saya dan seorang kakak yang memutuskan mengambil jalan berbeda.
Sampai akhir hayatnya ibu selalu mendampingi ayah, meski ayah terbaring sakit dan membutuhkan biaya besar. Ibu tak pernah menyerah, meski biasa hidup berkecukupan lalu harus banting tulang mencari nafkah, merawat ayah, dan mengurus anak-anaknya. Dengan keadaan ekonomi seperti itu, kami hanya mampu tinggal di lingkungan yang bisa dibilang keras. Jangan ditanya intimidasi apa yang sering saya alami di lingkungan keras seperti itu. Saat ayah masih hidup, hal itu tak terlalu sering saya alami. Tapi sejak ayah meninggal, segalanya jauh lebih sulit.
“ Woi Cina, jangan main sama adikku!”
“Dasar Cina makan babi kau!” padahal makan daging ayam saja kami sering tak mampu ….. hihihi.
“ Eh Cina, pulang sana ke negaramu! Menuh-menuhin Indonesia saja!” kata guru PMP saya dulu, padahal saya selalu juara kelas.
Saya sering pulang dengan mata sembab bekas menangis.

“Ibu, Cina itu apa sih? Kenapa Nat selalu dibilang Cina, padahal kita kan orang Indonesia?”
Biasanya ibu hanya menyuruh saya sabar dan tak meladeni, tanpa menjawab pertanyaan saya. Katanya kita ini minoritas, jadi ngalah saja. Tetapi saya tetap tak paham. Hanya satu hal yang saya pahami, jadi Cina itu aib, seperti penyakit kotor yang memalukan, padahal saya sehat-sehat saja. Tapi kelamaan dihina membuat saya belajar membela diri.“Woi, ada Cina lewat, godain yuk!” batu dan pasirpun dilempar ke arah saya, saya menghampiri gerombolan anak laki-laki itu dan menonjok sang provokator. Jika jumlah mereka terlalu banyak, saya balas melempar batu dan kabur secepat kilat.

“Eh Cina, pulang saja ke negaramu!” saya akan menjawab, “ Perasaan Tuhan menciptakan bumi untuk dinikmati semua orang, Cina juga berhak hidup, Bu! ” hasilnya saya sering disetrap guru PMP.
“Dasar Cina tak tahu diri lu!” saya akan menjawab, “ Hidup Cina! Horee!” dengan gaya seorang juara mengacungkan piala, hingga saya dicap gila.
Lalu ada yang mencolek anggota tubuh, “Cina jual mahal lu! ” saya balas melempar sandal dan menendangnya.

Hasilnya saya pulang dengan bibir pecah, hidung berdarah, dan wajah babak belur karena dihajar preman itu, untung ada seorang Pak Haji yang menolong saya. Ibu sampai geleng-geleng kepala dan mengamuk. Berbagai hukuman dan ceramah tentang ‘minoritas’ saya terima.
Bertahun-tahun saya malu dan merasa bersalah menjadi Cina, seperti sebuah dosa yang harus saya tanggung. Padahal dosa-dosa saya pribadi sudah cukup berat, saya tak mau jika harus menanggung dosa yang katanya dulu dilakukan ‘leluhur’, yang membuat hancur citra orang Tionghoa di Indonesia. Sesungguhnya panggilan Cina itu saja sudah cukup membuat trauma, sama halnya seperti ‘the N-word’ untuk orang hitam. Perasaan malu itu selalu ada dan membayangi, hingga saya bertemu dengan seseorang yang banyak berpengaruh dalam hidup saya. Orang itu adalah bos saya. Kesan pertama saat saya bertemu dengannya adalah segan. Orangnya hitam, lebar, botak, hidungnya mekar, sangar pula. Tetapi don’t judge a book by its cover, karena dari isi kepala botaknyalah saya banyak belajar tentang segala hal. Beliau sering mengajak saya berdiskusi tentang pekerjaan, hidup, jodoh, hingga agama. Beliau adalah anak seorang jenderal, jenderal jujur yang hidup tidak bergelimang harta hingga akhir hayatnya. Beliau membuat seorang Tionghoa seperti saya mengenal pengamat militer, duta besar, menteri, jenderal teman bapaknya, ataupun orang-orang yang tak pernah saya bayangkan bisa saya kenal sebelumnya. Biarpun kenalannya hebat-hebat, tapi jangan tanya keuangan perusahaan. Beliau tak pernah mau memakai koneksi dan surat sakti. Perusahaan kami miskin, saya pernah tak digaji berbulan-bulan, bahkan memakai uang pribadi untuk perusahaan.
Beliau seperti ayah yang saya cari-cari selama ini. Beliau adalah seorang muslim yang mengajarkan bahwa perbedaan itu indah, bahwa bukanlah kesalahan saya menjadi seorang Tionghoa. Karena kalau boleh memilih, saya tak kan pernah mau dilahirkan jadi Tionghoa di Indonesia, saya akan lebih memilih jadi bule Selandia Baru (???) hahaha …. Beliau mengajarkan bahwa saya harus bangga menjadi Tionghoa yang lahir di Indonesia, karena kami biasanya ulet dan tahan banting. Beliau yang membuka wawasan saya bahwa Islam itu cinta damai dan melindungi wanita, bahwa Islam itu indah, tidak kaku dan menakutkan seperti yang saya bayangkan sebelumnya.

Apa yang sudah terjadi dan saya lalui, saya hanya mengambil hikmahnya. Saat teman-teman mengajak kabur ke luar negeri pada kerusuhan Mei 1998, saya tak mau pergi. Selain karena tak punya uang dan ada ibu yang harus saya jaga, saya juga mencintai negara ini. Saya ingin hidup dan mati hanya disini ( cinta membabi buta, kata seorang teman saya), kecuali kalau ada yang ingin mengajak saya honeymoon ke Selandia Baru, heheheh!
Sampai sekarang saya masih dalam tahap belajar menerima perbedaan. Bahwa tidak semua orang bisa menerima perbedaan, dan akan menjadikan perbedaan itu sesuatu yang layak untuk dipermasalahkan. Mohon maaf yang setulus-setulusnya, bila tulisan saya masih banyak kekurangan dan menyinggung perasaan banyak pihak.



usin kata; ...fikir-fikirkanlah......artikel dari kompas.com

No comments:

Hoiii !!!! INGAT TAU !!!

Hoiii !!!! INGAT TAU !!!
"Saya memerlukan sokongan 1.2 juta penjawat awam. Sekiranya anda mahu dibayar gaji yang lebih baik di masa depan, saya perlu mengukuhkan asas perolehan kerajaan kerana kalau tidak, dari mana saya akan dapat wang untuk membayar penjawat awam?"- petikan kenyataan Najib Razak yang mengaku tiada idea lain utk nak bayar gari penjawat awam melainkan kenakan cukai kepada semua rakyat..Pada masa yang sama Kerajaan BN mahu mengurangkan cukai syarikat/cukai koparat..Pada 1988 cukai koparat adalah 40%..tetapikini telah dikurangkan kepada 25%..

Tapak-Tapak di Apadianie sejak 24 Mac 2009