Evolusi dan Mutasi Virus Influenza
Rabu, 29 April 2009 05:44 WIB
IRWAN JULIANTO
KOMPAS.com - Januari 1976. Musim dingin sedang pada puncaknya dengan salju bertaburan di Fort Dix, sebuah pusat latihan Angkatan Darat Amerika Serikat di New Jersey. Sungguh sial nasib prajurit David Lewis (18). Ia tak bisa ikut merayakan HUT ke-200 negaranya karena ia tewas akibat tetap ngotot mengikuti latihan berat bersama peletonnya walaupun ia menunjukkan gejala terjangkit flu: pusing, mual, lelah, demam, dan nyeri otot.
Memang hanya Lewis yang tewas akibat flu yang kemudian diidentifikasi sebagai ”flu babi” (swine flu) yang disebabkan oleh virus H1N1, sama dengan subtipe virus influenza A yang menjadi biang wabah raya (pandemi) flu spanyol 1918-1919. Sementara sekitar 300 rekan Lewis juga terjangkit flu, sebagian harus dirumahsakitkan, tapi tak sampai fatal. Demikian dituturkan Laurie Garrett dalam sebuah bab khusus tentang swine flu di bukunya, The Coming Plague (1994).
Gara-gara kematian Lewis, para petinggi kesehatan masyarakat AS sempat panik akan terulangnya pandemi flu. Mereka mendesak Presiden Gerald Ford untuk memvaksinasi setiap warga Amerika agar kebal terhadap ”flu babi”. Program Imunisasi Nasional ”Swine Flu” yang disetujui Kongres AS pada 12 Agustus 1976 mulai dijalankan sejak awal Oktober 1976. Program vaksinasi massal yang dilakukan terhadap puluhan juta orang itu, pertengahan Desember 1976, dihentikan menyusul pengumuman Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) bahwa vaksinasi ”flu babi” diduga menimbulkan puluhan hingga ratusan kasus kelumpuhan yang dikenal sebagai sindrom Guillain-Barre.
Bunglon mikroba
Adalah Dr Richard Shope dari AS yang mengusulkan istilah swine flu. Tahun 1932, ia mengusap ingus babi-babi di peternakan dan berhasil menularkannya ke sesama babi. Tahun 1933, tim Inggris, Wilson Smith dan tiga rekannya, untuk pertama kali mengisolasi virus flu. Tahun 1935, Shope membuktikan bahwa orang-orang yang selamat selama pandemi flu spanyol 1918-1919 (seusai Perang Dunia I) memiliki antibodi terhadap ”virus babi”-nya, tetapi anak-anak yang lahir setelah 1920 tak memiliki antibodi itu. Ia kemudian menyimpulkan bahwa pandemi flu seperti flu spanyol (yang menewaskan lebih dari 50 juta orang di seluruh dunia) itu disebabkan oleh virus dengan tipe ”babi”.
Shope berhipotesis bahwa virus itu berasal dari hewan-hewan lain (yang ternyata kemudian adalah burung), menginfeksi manusia, dan kemudian ditularkan oleh manusia ke babi. Babi kemudian menjadi tempat persembunyian aman bagi virus flu hingga kemudian menular lagi ke manusia, seperti yang terjadi dewasa ini di Meksiko dan beberapa negara lain, seperti AS, Kanada, Spanyol, Inggris, dan Australia.
Dengan kemajuan biologi molekuler, CDC awal dekade 1990-an mengukuhkan teori Shope. Hasil ”sidik jari” virus Fort Dix yang menjangkiti David Lewis dipastikan H1 (hemagglutinin 1) N1 (neuraminidase 1), sama dengan ”virus babi” Shope. Protein hemagglutinin dan neuraminidase merupakan antigen yang menyerang antibodi, sistem kekebalan tubuh manusia.
Perubahan minor pada kedua antigen ini (antigenic drift) biasanya tak menimbulkan wabah flu, hanya mutasi yang serius (antigenic shift) yang dapat membuat antibodi manusia tak mampu melawan dan inilah yang kemudian menimbulkan pandemi flu kembali terulang pada tahun 1957 dengan ”flu asia” yang disebabkan oleh virus influenza A subtipe H2N2 (menewaskan lebih dari 1 juta orang) dan tahun 1968 ”flu hongkong” oleh virus H3N2 dengan korban lebih dari 700.000 jiwa. Kini dikenal ada 16 jenis hemagglutinin dan 9 jenis neuraminidase, jadi bisa dibayangkan ada berapa kombinasi HN yang mungkin mengancam manusia. Yang paling mengkhawatirkan adalah virus flu burung H5N1 yang telah menewaskan lebih dari 100 orang Indonesia.
Tampaknya virus flu berhasil beradaptasi cukup sering, setidaknya satu kali setiap generasi manusia muncul strain virus flu baru yang dapat mengecoh manusia. Biasanya, setelah suatu pandemi flu yang dahsyat yang membunuh ratusan ribu atau jutaan jiwa, orang-orang yang selamat mungkin telah memiliki antibodi yang mengenal dan menetralisasi protein-protein hemagglutinin dan neuraminidase strain tersebut. Selama beberapa tahun kemudian, populasi virus flu itu hanya akan mengalami perubahan minor yang kurang berbahaya.
Sejarah mencatat pandemi flu hebat terjadi tahun 1580, seiring dengan kolonialisasi Afrika, Asia, dan Amerika. Pada abad ke-17 tidak ada catatan, tetapi pada abad ke-18 dan ke-19 pandemi dahsyat flu terjadi tahun 1729, 1732, 1781, 1830, 1833, dan 1889. Abad yang lalu juga mencatat tiga pandemi flu dan yang paling hebat tahun 1918-1919. Tidak mustahil abad ke-21 ini bakal terulang lagi sedikitnya tiga kali pandemi flu.
Kekhawatiran terhadap flu burung yang ”untungnya” belum menular sesama manusia sah-sah saja. Tapi ternyata kita telah terkecoh, virus ”flu babi” H1N1 yang menular dari manusia ke manusia kini malah yang mengguncang dunia. Menurut Laurie Garrett, beberapa pakar flu memperkirakan virus ”flu babi” akan muncul dengan siklus setiap 90-100 tahun. Berarti, pandemi flu 1918-1919 diramalkan bakal terulang pada tahun 2009-2019. Ternyata ramalan itu benar! Tentu kita berharap wabah ”flu babi” tahun ini tak sampai menjadi wabah raya.
Seperti halnya manusia, virus flu pun harus terus beradaptasi atau punah. Peristiwa 1976 di AS mengajarkan kepada para virolog bahwa virus flu itu mirip bunglon mikroba. Ia telah berevolusi dan mampu bertahan selama beribu tahun. Virus flu memang punya logikanya sendiri...- sumber http://www.kompas.com/
Rabu, 29 April 2009 05:44 WIB
IRWAN JULIANTO
KOMPAS.com - Januari 1976. Musim dingin sedang pada puncaknya dengan salju bertaburan di Fort Dix, sebuah pusat latihan Angkatan Darat Amerika Serikat di New Jersey. Sungguh sial nasib prajurit David Lewis (18). Ia tak bisa ikut merayakan HUT ke-200 negaranya karena ia tewas akibat tetap ngotot mengikuti latihan berat bersama peletonnya walaupun ia menunjukkan gejala terjangkit flu: pusing, mual, lelah, demam, dan nyeri otot.
Memang hanya Lewis yang tewas akibat flu yang kemudian diidentifikasi sebagai ”flu babi” (swine flu) yang disebabkan oleh virus H1N1, sama dengan subtipe virus influenza A yang menjadi biang wabah raya (pandemi) flu spanyol 1918-1919. Sementara sekitar 300 rekan Lewis juga terjangkit flu, sebagian harus dirumahsakitkan, tapi tak sampai fatal. Demikian dituturkan Laurie Garrett dalam sebuah bab khusus tentang swine flu di bukunya, The Coming Plague (1994).
Gara-gara kematian Lewis, para petinggi kesehatan masyarakat AS sempat panik akan terulangnya pandemi flu. Mereka mendesak Presiden Gerald Ford untuk memvaksinasi setiap warga Amerika agar kebal terhadap ”flu babi”. Program Imunisasi Nasional ”Swine Flu” yang disetujui Kongres AS pada 12 Agustus 1976 mulai dijalankan sejak awal Oktober 1976. Program vaksinasi massal yang dilakukan terhadap puluhan juta orang itu, pertengahan Desember 1976, dihentikan menyusul pengumuman Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) bahwa vaksinasi ”flu babi” diduga menimbulkan puluhan hingga ratusan kasus kelumpuhan yang dikenal sebagai sindrom Guillain-Barre.
Bunglon mikroba
Adalah Dr Richard Shope dari AS yang mengusulkan istilah swine flu. Tahun 1932, ia mengusap ingus babi-babi di peternakan dan berhasil menularkannya ke sesama babi. Tahun 1933, tim Inggris, Wilson Smith dan tiga rekannya, untuk pertama kali mengisolasi virus flu. Tahun 1935, Shope membuktikan bahwa orang-orang yang selamat selama pandemi flu spanyol 1918-1919 (seusai Perang Dunia I) memiliki antibodi terhadap ”virus babi”-nya, tetapi anak-anak yang lahir setelah 1920 tak memiliki antibodi itu. Ia kemudian menyimpulkan bahwa pandemi flu seperti flu spanyol (yang menewaskan lebih dari 50 juta orang di seluruh dunia) itu disebabkan oleh virus dengan tipe ”babi”.
Shope berhipotesis bahwa virus itu berasal dari hewan-hewan lain (yang ternyata kemudian adalah burung), menginfeksi manusia, dan kemudian ditularkan oleh manusia ke babi. Babi kemudian menjadi tempat persembunyian aman bagi virus flu hingga kemudian menular lagi ke manusia, seperti yang terjadi dewasa ini di Meksiko dan beberapa negara lain, seperti AS, Kanada, Spanyol, Inggris, dan Australia.
Dengan kemajuan biologi molekuler, CDC awal dekade 1990-an mengukuhkan teori Shope. Hasil ”sidik jari” virus Fort Dix yang menjangkiti David Lewis dipastikan H1 (hemagglutinin 1) N1 (neuraminidase 1), sama dengan ”virus babi” Shope. Protein hemagglutinin dan neuraminidase merupakan antigen yang menyerang antibodi, sistem kekebalan tubuh manusia.
Perubahan minor pada kedua antigen ini (antigenic drift) biasanya tak menimbulkan wabah flu, hanya mutasi yang serius (antigenic shift) yang dapat membuat antibodi manusia tak mampu melawan dan inilah yang kemudian menimbulkan pandemi flu kembali terulang pada tahun 1957 dengan ”flu asia” yang disebabkan oleh virus influenza A subtipe H2N2 (menewaskan lebih dari 1 juta orang) dan tahun 1968 ”flu hongkong” oleh virus H3N2 dengan korban lebih dari 700.000 jiwa. Kini dikenal ada 16 jenis hemagglutinin dan 9 jenis neuraminidase, jadi bisa dibayangkan ada berapa kombinasi HN yang mungkin mengancam manusia. Yang paling mengkhawatirkan adalah virus flu burung H5N1 yang telah menewaskan lebih dari 100 orang Indonesia.
Tampaknya virus flu berhasil beradaptasi cukup sering, setidaknya satu kali setiap generasi manusia muncul strain virus flu baru yang dapat mengecoh manusia. Biasanya, setelah suatu pandemi flu yang dahsyat yang membunuh ratusan ribu atau jutaan jiwa, orang-orang yang selamat mungkin telah memiliki antibodi yang mengenal dan menetralisasi protein-protein hemagglutinin dan neuraminidase strain tersebut. Selama beberapa tahun kemudian, populasi virus flu itu hanya akan mengalami perubahan minor yang kurang berbahaya.
Sejarah mencatat pandemi flu hebat terjadi tahun 1580, seiring dengan kolonialisasi Afrika, Asia, dan Amerika. Pada abad ke-17 tidak ada catatan, tetapi pada abad ke-18 dan ke-19 pandemi dahsyat flu terjadi tahun 1729, 1732, 1781, 1830, 1833, dan 1889. Abad yang lalu juga mencatat tiga pandemi flu dan yang paling hebat tahun 1918-1919. Tidak mustahil abad ke-21 ini bakal terulang lagi sedikitnya tiga kali pandemi flu.
Kekhawatiran terhadap flu burung yang ”untungnya” belum menular sesama manusia sah-sah saja. Tapi ternyata kita telah terkecoh, virus ”flu babi” H1N1 yang menular dari manusia ke manusia kini malah yang mengguncang dunia. Menurut Laurie Garrett, beberapa pakar flu memperkirakan virus ”flu babi” akan muncul dengan siklus setiap 90-100 tahun. Berarti, pandemi flu 1918-1919 diramalkan bakal terulang pada tahun 2009-2019. Ternyata ramalan itu benar! Tentu kita berharap wabah ”flu babi” tahun ini tak sampai menjadi wabah raya.
Seperti halnya manusia, virus flu pun harus terus beradaptasi atau punah. Peristiwa 1976 di AS mengajarkan kepada para virolog bahwa virus flu itu mirip bunglon mikroba. Ia telah berevolusi dan mampu bertahan selama beribu tahun. Virus flu memang punya logikanya sendiri...- sumber http://www.kompas.com/
No comments:
Post a Comment